"Filosofi Adat Bersendikan Syarak dan Syarak Bersendikan Kitabullah, menjadi pegangan dalam hidup ini" |
Tak banyak mengenal budayawan perempuan asal Dusun Kedome, Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur ini. Ya, Bunda Sainah atau Sania demikian budayawan asal luar daerah di Pulau Jawa dan Sulawesi menyebutnya.
Perempuan berusia 64 tahun ini, bukan sekedar budayawan biasa. Namanya, sudah dikenal hingga ke mancanegara. Tak jarang ia diundang hingga ke Palestina bahkan Eropa.
Tidak saja mahir dalam sastra, dia bahkan memiliki darah seni dalam lukisan seni rupa yang dibuat dari limbah laut seperti kerang dan pasir untuk dikomersilkan hingga ke luar negeri.
Lingkungan rumah adat, begitu dia menyebutnya nampak lebih estetis/indah oleh tangan terampilnya hanya dengan menggunakan bahan dari kerang-kerangan. Lukisan yang tengah dibuatnya pun menambah kesan makna dari setiap motif gambar yang dibuatnya.
"Saya membuat lukisan ini mengalir begitu saja. Tapi yang terpenting, motif yang dibuat menggambarkan falsafah tentang adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan kitabullah. Filosofi inilah yang utama dipegang," ungkap Hj. Dewi Al-mukaiyyah Saddatul Qadri begitu orang-orang menyebut namanya setelah menunaikan ibadah haji.
Kehadiran sosok yang kerap dikaitkan dengan Kerajaan Selaparang ini bukan tanpa alasan. Bahkan, Eyang Putri sebutannya - mampu menguasai sejumlah bahasa dunia. Bahasa Arab salah satu bahasa yang cukup fasih diucapkan.
"Kita tanamkan ilmu agama dengan melestarikan adat istiadat kepada anak cucu kita. Agar mereka tetap berpegang teguh pada kitabullah," pesan Bunda Sainah yang mengaku pernah mengislamkan sejumlah orang dikediamannya beberapa waktu lalu.
Seni ukir pun kata dia, tidak sekedar dipandang sebagai karya semata. Namun lebih dari itu harus dilestarikan dengan sentuhan budaya bercorak Islam dan Sasak.
Ia membantah keras jika rumah adat yang selama ini tempat berkegiatan sebagai lokasi kegiatan ajaran sesat. Justru sebaliknya, tempat ini untuk kegiatan anak-anak usia dini lokasi mengaji.
"Banyak dari orang-orang tertentu menuduh kami rumah adat ini tempat ajang aliran sesat. Nauzubillahi mindzalik," bantah Bunda Sainah sembari menggelengkan kepalanya.
Rumah adat ini justru sebagai tempat mendidik anak-anak untuk bersikap sopan-santun, memiliki adab dan mengajarkan ilmu-ilmu agama yang kelak dijadikan pegangan hidup.
"Lingkungan rumah adat yang penuh dengan ukir-ukiran inilah yang mungkin dianggap orang lain sebagai lokasi ajaran diluar dari kaidah agama Islam. Padahal, taman dan ukiran-ukiran itu adalah seni rupa dan hanya karya hasil dari pemanfaatan limbah yang tidak terpakai," tandasnya. (CN)
0 Komentar